Senin, 24 Agustus 2015

KEHABISAN PELURU PART 2

Sebuah mobil Kijang biru tengah menunggu Hardi di pinggir jalan, beruntung hari ini agak mendung, ia masuk kedalam mobil tersebut, sudah ada Resya di dalam mobil.
“Jadi kita mau kemana?” Tanya Resya.
“Hah, kamu malah balik bertanya, bukankah sudah diberi tahu Handito.”
“Ya santai sedikit lah, kamu kaku sekali yah, memangnya kamu tidak lelah habis perjalanan jauh.” Tanya Resya
“Lelahnya nanti saja, ada tugas menanti.” Jawab Hardi datar.
Mobil pun di starter dan berjalan.

“Aku tahu, kamu habis dimarahi bos, tenang saja itu hal biasa, kita atur lagi dari awal, kita perbaiki apa-apa yang kurang, tidak usaha dipikirkan, kamu kepikiran karena kurang istirahat serta ditambah dengan kelelahan dan rasa bersalah akibat kegagalan operasi, kalau dipikirkan secara materi, kita juga sudah kehilangan banyak uang untuk sebuah operasi, biaya senjata, hotel, informasi, tetapi kalau semuanya harus diukur dengan uang tidak akan ada habis-nya, kesehatan mental dari para agen juga penting, hal-hal yang sering dialami mereka adalah, kelelahan, stres, sensitifitas meninggi, mudah marah, disertai gejala fisik seperti sakit kepala, hidung berdarah, dll.” Jelas Resya, si wanita berkacamata minus gagang hitam tersebut.

“Hmm.. kau ini sekarang dokter yah.” Tanya Hardi.

“Ha.. ha.. bukan, aku masih sama, mengurusi logistik para agen, mencarikan dan maintenance senjata, alat penyadap, alat komunikasi, aplikasi, komputer, menyusun laporan, tetapi terkadang juga harus double job mengurusi kesehatan para agen, gizi, obat-obatan, kontrol.” Jawab Resya.

“Berapa umur-mu ?” Tanya Hardi

“Menurut-mu ?”

“Aku tidak tahu, gaya bicara-mu seperti sudah berumur, tapi tangan-mu menyiratkan hal sebaliknya.” Kata Hardi

“Tanganku? Kau membaca kisaran umur wanita berdasarkan tangan?”

“Aku juga tidak tahu bagaimana cara melihatnya, itu kata temanku dulu, tetapi ia juga tidak memberitahuku bagaimana cara melihat-nya.”

 “Oh ya, aku masih 30 tahun, tolong ini rahasia kita saja ya.” Kata Resya.

“Kau ternyata masih muda, kau 7 tahun dibawahku.”

“Memangnya aku ini terlihat tua?” Tanya Resya sembari terus mengemudikan mobilnya lalu berbelok kiri diperempatan jalan setelah lampu merah.

“Mungkin karena kau dibagian manajemen, gaya bicara kaku, bicaranya tinggi, serta banyak paham soal sistem, mungkin membuat mu terlihat dewasa dari umur-mu.” Hardi menjawab

“Ya.. ya mungkin saja, mungkin ya mungkin tidak.”
Mereka berdua sudah sampai di Safe House tempat Resya bertugas, berada disebuah apartemen menengah bergaya kerajaan Eropa, berposisi dilantai atas.
Resya dan Hardi melewati sekuriti dan pemeriksaan metal detector, lalu naik dengan sebuah lift
Menuju lantai 16, lalu keluar dari lift berjalan menyusuri lorong dan membuka pintu kamar dengan sistem kartu. Kamar apartemennya cukup luas, ia menghuni tempat ini dengan penyamaran sebagai pebisnis jual beli Mobil, ada dua ruangan,
“Aku mandi dulu, dan sehabis itu kalau boleh aku ingin beristirahat sebentar.” Kata Hardi.

“Ya tentu saja, silahkan.” Jawab Resya.

Hardi mau melangkah ke arah kamar mandi namun tubuh Resya yang terlalu dekat menghalangi jalannya, Hardi berusaha mencari jalan ke kanan dan ke kiri, tetapi tubuh Resya mengikuti, sembari menatap leher Hardi, Resya tidak berani menatap langsung wajah Hardi, saat perlahan ia mulai menyentuh leher Hardi, lalu mendongakkan kepalanya ke atas, dan mulai mencium erat bibir Hardi dan semakin dalam ciumannya dilakukan.

Sementara menunggu Hardi mandi, Resya mengoperasikan sebuah komputer milik-nya yang sudah terpasang transmisi radio, beberapa peralatan intelijen juga ia rapihkan dan dimasukan ke box khusus, seperti kamera kacamata, kamera bolpoin, alat perekam suara, alat pemindah data, harddisk portable, dll, kemudian Resya membuka sebuah laci meja televisi, mengambil cash box berisi uang dan senjata, mengambil segepok uang total Rp. 5,000,000,- pecahan Rp. 50,000,-

Usai mandi, Hardi tertidur di kasur Resya, tertidur pulas, sementara Resya hanya bisa cemberut, belum puas rasanya, ia menginginkan lebih dari Hardi.
Saat Hardi terbangun dari tidur-nya, ia melihat Resya Harun sudah terduduk di kursi tidak jauh dari pandangannya, memakai rok biru tua selutut, hanya saja saat duduk membuat rok tersebut agak tersingkap ke atas, memperlihatkan sedikit jenjang kaki-nya yang putih, serta kaos biru, dengan dibalut sweter hodie warna biru dongker.

Resya tersenyum ke arah Hardi.

“Hari sudah mulai gelap, tidur-mu pulas sekali, malam ini kita akan menyusuri daerah kekuasaan Alm. Aryo Rinaldy, jangan harap gedung mewah, tinggi, ada disana.” Kata Harun.

Hardi hanya tersenyum kecut.

“Apakah kau melupakan sesuatu?” Tanya Resya.

“Soal apa?”

“Sepertinya kau menganggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita, memangnya kau menganggap aku apa?” Tanya Resya.

“Partner.” Jawab Hardi singkat, sembari berjalan membuka lemari dan mengambil jaket hitam milik-nya
Resya berdiri dan mendekati Hardi “Ingat pelatihan yang sudah kamu lalui, aku pikir itu banyak melibatkan emosional kita.” Tambah Resya.

“Ya aku tahu, aku berterimakasih untuk itu, tapi sepertinya tidak lebih dari itu.”

“Kamu masih memikirkan alm. Istri-mu? Bukankah itu sudah sepuluh tahun yang lalu, percayalah aku juga wanita, sama seperti istrimu, soal perasaan, wanita manapun tidak akan mau melihat lelaki-nya menderita, aku yakin ditempat peristirahatannya ia membolehkan-mu untuk memiliki wanita lagi dalam hidup-mu.” Kata Resya.

“Kita sudah pernah membahas-nya, aku juga sudah berfikir sebaiknya mencari wanita lain untuk jadi pendamping hidup-ku, tapi tidak sekarang, aku sedang dalam tugas, berbahaya, jadi sekarang kita sudah bisa jalan?” kata Hardi.

“Yasudah, ayo kita jalan.”
Resya dan Hardi menuju daerah kekuasaan keluarga Aryo dengan menggunakan kendaraan mereka, menyusuri jalanan ibukota hingga ke sebuah tempat yang ramai penduduk, dan terlihat sedikit kumuh, kabel tiang listrik menjalar kemana-mana, toko-toko berjejer, mulai dari fotokopi, warung makan, warung kopi, minimarket, pangkalan ojeg, hingga tukang sate, penjual sandal, para warga juga lalu lalang disepanjang trotoar, Resya yang berada dibalik kemudi terus menginjak pedal gas-nya hingga mereka sampai di sebuah bar MY, tempat warga sekitar menghabiskan waktu luang atau sekadar mencari hiburan, sebuah bar yang menyediakan berbagai minuman alkohol, meja biliar, nobar, hingga karaoke.
Joe “The Fat Boy” biasa menghabiskan waktunya disitu.
Hardi pun turun sendirian masuk kedalam bar, dalam melihat-lihat kedalam, ia melihat sesosok pria gemuk tengah terduduk di meja bar tengah menikmati minumannya, Hardi duduk mengambil jarak satu kursi dari Joe, tak lama kemudian Resya masuk kedalam dan duduk diantara Hardi dan Joe.

“Hei wanita, mau minum? Aku yang belikan.” Tanya Hardi

“Tidak usah.” Jawab Resya hanya menatap sepersekian detik kepada Hardi lalu meluruskan kembali pandangannya kedepan.
Hardi hanya tersenyum kecut, dan berusaha meraih tangan Resya.

“Hei apaan nih, jangan ganggu aku.” Jawab Resya ketus dan mulai kesal dengan ulah Hardi.
Resya yang mengenakan rok dan menatap wajah Joe dengan nakal, membuat Joe mudah terkait pancingannya.

Joe membalas senyuman Resya dan sepertinya wanita itu membutuhkan bantuan Joe.

“Butuh bantuan mam?” Tanya Joe sembari menatap tajam Resya.

“Ah siapa ? aku? Ya tentu saja, jangan panggil mam, namaku Resya.”

“You can call me Joe.” Jawab Joe dengan bahasa Inggris yang menggelitik.

“Aku akan pesankan bir satu untuk-mu.”

“Oh ya terimakasih.” Jawab Resya sembari menyunggingkan senyum-nya.
Hardi lalu mulai mendekati Resya kembali, memegangi rok dan kepalanya, lalu mencium Resya dibibir-nya, sementara Resya terlihat mulai tidak nyaman dan berusaha melepaskan diri dari Hardi sampai tubuhnya sedikit terbanting ke arah Joe.

“Hey, Anda punya masalah dengan nya?” Tanya Joe kepada Hardi.

“Tidak usah ikut campur, sebaik-nya kau pergi sebelum mendapat masalah.” Jawab Hardi
Joe hanya menyeringai, “Oh ya, berani sekali bicara seperti itu di daerahku, aku belum pernah melihat-mu sebelumnya.”
Resya menghindari mereka berdua.
Saat sebuah pukulan menghantam perut Joe, lalu Joe membalas sebuah sambaran ke kepala Hardi membuatnya terpelanting, Joe memecahkan sebuah botol dan berjalan ke arah Hardi, namun dengan sigap Hardi langsung menendang kaki Joe, dan menendang lengan Joe yang sedang memegangi botol pecah tersebut. Joe menjatuhkan tubuhnya ke arah Hardi dan membuat keduanya terjatuh kelantai, suasana mulai kacau, orang-orang dibar berlari ketakutan, sementara pelayan berusaha memanggil bantuan keamanan.
Joe dan Hardi berdiri bersamaan, mereka terlibat baku pukul, hand to hand combat secara cepat diperagakan oleh Hardi yang masih mampu ditangkis oleh Joe, namun Hardi lebih sigap dan berhasil memukul ke arah dada, wajah, dan leher, sementara Joe melihat celah dan langsung mencekik leher Hardi dengan lengannya yang besar, mengangkatnya dan membanting tubuh Hardi ke arah meja, menghancurkan meja kayu tersebut.

Kemudian datang dua orang polisi mengacungkan senjata ke arah mereka, lalu menggelandangnya ke kantor polisi, hari ini mereka menginap disana dengan sel yang berbeda.

Keesokan harinya Resya mendatangi kantor polisi tersebut sembari menyelipkan amplop dan meminta untuk membebaskan Hardi.

Beberapa saat kemudian Hardi nampak dikawal oleh polisi berjalan ke arah Resya, lalu Hardi meminta kepada Resya untuk membebaskan Joe.

“Ini salahku, semalam aku tersulut emosi.” Kata Hardi kepada Resya yang juga didengarkan si polisi.
Resya menunduk dan berfikir, lalu mengatakan kepada Polisi, meminta Joe dibebaskan.

Joe “The Fat Boy” berjalan ke arah pintu luar lalu menjumpai Resya dan Hardi diluar.

“Hei Joe, aku minta maaf soal semalam, beruntung Resya menolongku, lalu aku juga meminta agar kau juga sekalian dibebaskan.” Kata Hardi sembari mengulurkan tangan

“Ya sudahlah, masalahnya sepele sebenar-nya.”

“Aku akan mentraktir kopi untuk kalian berdua.” Ujar Hardi.

Usai Joe menjabat uluran tangan Hardi, mereka bertiga pun menuju sebuah kedai kopi, sembari menyeruput hidangan kopi dan cemilan ringan dipagi hari menjelang siang, mereka banyak mengobrol diselingin tawa diantara mereka.

Joe adalah tipikal orang yang banyak mulut, ia akan membicarakan apapun yang ia ingin bicarakan tanpa henti, terutama reputasi hidupnya yang meski mengerikan tetapi terkadang suka di besar-besarkan dan kalau diperhatikan suka memutar-mutar disitu-situ saja.

Obrolan pun berlanjut soal rencana dari anak Aryo, yaitu Heriyanto.

“Jadi apa yang akan dilakukan oleh Heriyanto.” Tanya Hardi

“Balas dendam, itu sudah pasti, ia akan mengumpulkan tim terbaik yang ia miliki, orang-orang yang sudah ia kenal atau orang-orang yang kami kenal untuk menciptakan visi dan misi yang sama dengannya.” Jelas Joe

“Kenapa harus ada visi dan misi, bukankah tujuannya hanya untuk balas dendam, membunuh Henry, setelah itu selesai.”

“Heriyanto bukan orang semacam itu kawan, ia ingin menciptakan kekuatan dan propaganda untuk melakukan perlawanan terhadap keluarga Henry, visi-nya adalah menjadikan keluarga Aryo sebagai pemimpin Mafia di ibukota, serta memiliki misi untuk melemahkan keluarga Henry, membeli polisi sebanyak yang dia bisa, memperluas ekspansi bisnis-nya, dan menguasai wilayah tanpa harus membayar kepada siapapun.” Jelas Joe.

“Sepertinya menarik.” Suara datang dari Resya. “Kalau kalian menang, berarti kalian bisa memiliki wilayah yang bisa kalian pakai semaunya, aku mau mendirikan usaha salon, kedai kopi, kedai gunting rambut, serta membangun kontrakan.” Tambah Resya.

“Ha.. ha.. apapun Mam, tapi tentu harus menjadi keluarga inti dahulu, jasamu harus besar dulu untuk keluarga Aryo, dengan begitu nanti akan ada porsi wilayah yang akan dibagi, tanah, uang, pengurusan sertifikat, dll”

“Bagaimana caranya, agar kami bisa memberikan jasa yang besar untuk kalian?” Tanya Hardi

“Tadi kau bilang pernah di Militer, menjadi Sniper, itu modal yang bagus, kau punya kemampuan yang cukup untuk membantu kami.” Kata Joe

“Ya, tapi aku sudah lama keluar dari kesatuan.”

“Tapi kau tahu kan ilmu dasar-nya, menembak, menikam, bertahan, pengintaian, dll” ujar Joe.

“Ya tentu saja, aku harus memolesnya lagi, berlatih fisik lagi, membuka lagi manual book survival, serta meminyaki dan berlatih kembali dengan senjata.” Jawab Hardi

“Heriyanto, dkk akan mengadakan pertemuan dengan orang-orang terbaik-nya, dan kau atas rekomendasiku, aku undang untuk menjadi bagian dari kami.”

“Ya tentu saja, aku mau.” Tutup Hardi.

Taken from Chapter 26 : KEHABISAN PELURU, My upcoming soon Novel by Finn. R
email : vinhramdhansetiawan@yahoo.co.id

fiction/thriller action

0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger