Sebuah
mobil Kijang biru tengah menunggu Hardi di pinggir jalan, beruntung hari ini
agak mendung, ia masuk kedalam mobil tersebut, sudah ada Resya di dalam mobil.
“Jadi
kita mau kemana?” Tanya Resya.
“Hah,
kamu malah balik bertanya, bukankah sudah diberi tahu Handito.”
“Ya
santai sedikit lah, kamu kaku sekali yah, memangnya kamu tidak lelah habis
perjalanan jauh.” Tanya Resya
“Lelahnya
nanti saja, ada tugas menanti.” Jawab Hardi datar.
Mobil
pun di starter dan berjalan.
“Aku
tahu, kamu habis dimarahi bos, tenang saja itu hal biasa, kita atur lagi dari
awal, kita perbaiki apa-apa yang kurang, tidak usaha dipikirkan, kamu kepikiran
karena kurang istirahat serta ditambah dengan kelelahan dan rasa bersalah akibat
kegagalan operasi, kalau dipikirkan secara materi, kita juga sudah kehilangan
banyak uang untuk sebuah operasi, biaya senjata, hotel, informasi, tetapi kalau
semuanya harus diukur dengan uang tidak akan ada habis-nya, kesehatan mental
dari para agen juga penting, hal-hal yang sering dialami mereka adalah,
kelelahan, stres, sensitifitas meninggi, mudah marah, disertai gejala fisik
seperti sakit kepala, hidung berdarah, dll.” Jelas Resya, si wanita berkacamata
minus gagang hitam tersebut.
“Hmm..
kau ini sekarang dokter yah.” Tanya Hardi.
“Ha..
ha.. bukan, aku masih sama, mengurusi logistik para agen, mencarikan dan
maintenance senjata, alat penyadap, alat komunikasi, aplikasi, komputer,
menyusun laporan, tetapi terkadang juga harus double job mengurusi kesehatan
para agen, gizi, obat-obatan, kontrol.” Jawab Resya.
“Berapa
umur-mu ?” Tanya Hardi
“Menurut-mu
?”
“Aku
tidak tahu, gaya bicara-mu seperti sudah berumur, tapi tangan-mu menyiratkan
hal sebaliknya.” Kata Hardi
“Tanganku?
Kau membaca kisaran umur wanita berdasarkan tangan?”
“Aku
juga tidak tahu bagaimana cara melihatnya, itu kata temanku dulu, tetapi ia
juga tidak memberitahuku bagaimana cara melihat-nya.”
“Oh ya, aku masih 30 tahun, tolong ini rahasia
kita saja ya.” Kata Resya.
“Kau
ternyata masih muda, kau 7 tahun dibawahku.”
“Memangnya
aku ini terlihat tua?” Tanya Resya sembari terus mengemudikan mobilnya lalu
berbelok kiri diperempatan jalan setelah lampu merah.
“Mungkin
karena kau dibagian manajemen, gaya bicara kaku, bicaranya tinggi, serta banyak
paham soal sistem, mungkin membuat mu terlihat dewasa dari umur-mu.” Hardi
menjawab
“Ya..
ya mungkin saja, mungkin ya mungkin tidak.”
Mereka
berdua sudah sampai di Safe House tempat Resya bertugas, berada disebuah
apartemen menengah bergaya kerajaan Eropa, berposisi dilantai atas.
Resya
dan Hardi melewati sekuriti dan pemeriksaan metal detector, lalu naik dengan
sebuah lift
Menuju
lantai 16, lalu keluar dari lift berjalan menyusuri lorong dan membuka pintu
kamar dengan sistem kartu. Kamar apartemennya cukup luas, ia menghuni tempat
ini dengan penyamaran sebagai pebisnis jual beli Mobil, ada dua ruangan,
“Aku mandi dulu, dan sehabis itu kalau boleh
aku ingin beristirahat sebentar.” Kata Hardi.
“Ya
tentu saja, silahkan.” Jawab Resya.
Hardi
mau melangkah ke arah kamar mandi namun tubuh Resya yang terlalu dekat
menghalangi jalannya, Hardi berusaha mencari jalan ke kanan dan ke kiri, tetapi
tubuh Resya mengikuti, sembari menatap leher Hardi, Resya tidak berani menatap
langsung wajah Hardi, saat perlahan ia mulai menyentuh leher Hardi, lalu
mendongakkan kepalanya ke atas, dan mulai mencium erat bibir Hardi dan semakin
dalam ciumannya dilakukan.
Sementara
menunggu Hardi mandi, Resya mengoperasikan sebuah komputer milik-nya yang sudah
terpasang transmisi radio, beberapa peralatan intelijen juga ia rapihkan dan
dimasukan ke box khusus, seperti kamera kacamata, kamera bolpoin, alat perekam
suara, alat pemindah data, harddisk portable, dll, kemudian Resya membuka
sebuah laci meja televisi, mengambil cash box berisi uang dan senjata, mengambil
segepok uang total Rp. 5,000,000,- pecahan Rp. 50,000,-
Usai
mandi, Hardi tertidur di kasur Resya, tertidur pulas, sementara Resya hanya bisa
cemberut, belum puas rasanya, ia menginginkan lebih dari Hardi.
Saat
Hardi terbangun dari tidur-nya, ia melihat Resya Harun sudah terduduk di kursi
tidak jauh dari pandangannya, memakai rok biru tua selutut, hanya saja saat
duduk membuat rok tersebut agak tersingkap ke atas, memperlihatkan sedikit
jenjang kaki-nya yang putih, serta kaos biru, dengan dibalut sweter hodie warna
biru dongker.
Resya
tersenyum ke arah Hardi.
“Hari
sudah mulai gelap, tidur-mu pulas sekali, malam ini kita akan menyusuri daerah
kekuasaan Alm. Aryo Rinaldy, jangan harap gedung mewah, tinggi, ada disana.” Kata
Harun.
Hardi
hanya tersenyum kecut.
“Apakah
kau melupakan sesuatu?” Tanya Resya.
“Soal
apa?”
“Sepertinya
kau menganggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita,
memangnya kau menganggap aku apa?” Tanya Resya.
“Partner.”
Jawab Hardi singkat, sembari berjalan membuka lemari dan mengambil jaket hitam
milik-nya
Resya
berdiri dan mendekati Hardi “Ingat pelatihan yang sudah kamu lalui, aku pikir
itu banyak melibatkan emosional kita.” Tambah Resya.
“Ya
aku tahu, aku berterimakasih untuk itu, tapi sepertinya tidak lebih dari itu.”
“Kamu
masih memikirkan alm. Istri-mu? Bukankah itu sudah sepuluh tahun yang lalu,
percayalah aku juga wanita, sama seperti istrimu, soal perasaan, wanita manapun
tidak akan mau melihat lelaki-nya menderita, aku yakin ditempat
peristirahatannya ia membolehkan-mu untuk memiliki wanita lagi dalam hidup-mu.”
Kata Resya.
“Kita
sudah pernah membahas-nya, aku juga sudah berfikir sebaiknya mencari wanita
lain untuk jadi pendamping hidup-ku, tapi tidak sekarang, aku sedang dalam
tugas, berbahaya, jadi sekarang kita sudah bisa jalan?” kata Hardi.
“Yasudah,
ayo kita jalan.”
Resya
dan Hardi menuju daerah kekuasaan keluarga Aryo dengan menggunakan kendaraan
mereka, menyusuri jalanan ibukota hingga ke sebuah tempat yang ramai penduduk,
dan terlihat sedikit kumuh, kabel tiang listrik menjalar kemana-mana, toko-toko
berjejer, mulai dari fotokopi, warung makan, warung kopi, minimarket, pangkalan
ojeg, hingga tukang sate, penjual sandal, para warga juga lalu lalang
disepanjang trotoar, Resya yang berada dibalik kemudi terus menginjak pedal
gas-nya hingga mereka sampai di sebuah bar MY, tempat warga sekitar
menghabiskan waktu luang atau sekadar mencari hiburan, sebuah bar yang
menyediakan berbagai minuman alkohol, meja biliar, nobar, hingga karaoke.
Joe
“The Fat Boy” biasa menghabiskan waktunya disitu.
Hardi
pun turun sendirian masuk kedalam bar, dalam melihat-lihat kedalam, ia melihat
sesosok pria gemuk tengah terduduk di meja bar tengah menikmati minumannya,
Hardi duduk mengambil jarak satu kursi dari Joe, tak lama kemudian Resya masuk
kedalam dan duduk diantara Hardi dan Joe.
“Hei
wanita, mau minum? Aku yang belikan.” Tanya Hardi
“Tidak
usah.” Jawab Resya hanya menatap sepersekian detik kepada Hardi lalu meluruskan
kembali pandangannya kedepan.
Hardi
hanya tersenyum kecut, dan berusaha meraih tangan Resya.
“Hei
apaan nih, jangan ganggu aku.” Jawab Resya ketus dan mulai kesal dengan ulah
Hardi.
Resya
yang mengenakan rok dan menatap wajah Joe dengan nakal, membuat Joe mudah
terkait pancingannya.
Joe
membalas senyuman Resya dan sepertinya wanita itu membutuhkan bantuan Joe.
“Butuh
bantuan mam?” Tanya Joe sembari menatap tajam Resya.
“Ah
siapa ? aku? Ya tentu saja, jangan panggil mam, namaku Resya.”
“You
can call me Joe.” Jawab Joe dengan bahasa Inggris yang menggelitik.
“Aku
akan pesankan bir satu untuk-mu.”
“Oh
ya terimakasih.” Jawab Resya sembari menyunggingkan senyum-nya.
Hardi
lalu mulai mendekati Resya kembali, memegangi rok dan kepalanya, lalu mencium
Resya dibibir-nya, sementara Resya terlihat mulai tidak nyaman dan berusaha
melepaskan diri dari Hardi sampai tubuhnya sedikit terbanting ke arah Joe.
“Hey,
Anda punya masalah dengan nya?” Tanya Joe kepada Hardi.
“Tidak
usah ikut campur, sebaik-nya kau pergi sebelum mendapat masalah.” Jawab Hardi
Joe
hanya menyeringai, “Oh ya, berani sekali bicara seperti itu di daerahku, aku
belum pernah melihat-mu sebelumnya.”
Resya
menghindari mereka berdua.
Saat
sebuah pukulan menghantam perut Joe, lalu Joe membalas sebuah sambaran ke
kepala Hardi membuatnya terpelanting, Joe memecahkan sebuah botol dan berjalan
ke arah Hardi, namun dengan sigap Hardi langsung menendang kaki Joe, dan
menendang lengan Joe yang sedang memegangi botol pecah tersebut. Joe
menjatuhkan tubuhnya ke arah Hardi dan membuat keduanya terjatuh kelantai,
suasana mulai kacau, orang-orang dibar berlari ketakutan, sementara pelayan
berusaha memanggil bantuan keamanan.
Joe
dan Hardi berdiri bersamaan, mereka terlibat baku pukul, hand to hand combat
secara cepat diperagakan oleh Hardi yang masih mampu ditangkis oleh Joe, namun
Hardi lebih sigap dan berhasil memukul ke arah dada, wajah, dan leher,
sementara Joe melihat celah dan langsung mencekik leher Hardi dengan lengannya
yang besar, mengangkatnya dan membanting tubuh Hardi ke arah meja, menghancurkan
meja kayu tersebut.
Kemudian
datang dua orang polisi mengacungkan senjata ke arah mereka, lalu
menggelandangnya ke kantor polisi, hari ini mereka menginap disana dengan sel
yang berbeda.
Keesokan
harinya Resya mendatangi kantor polisi tersebut sembari menyelipkan amplop dan
meminta untuk membebaskan Hardi.
Beberapa
saat kemudian Hardi nampak dikawal oleh polisi berjalan ke arah Resya, lalu
Hardi meminta kepada Resya untuk membebaskan Joe.
“Ini
salahku, semalam aku tersulut emosi.” Kata Hardi kepada Resya yang juga
didengarkan si polisi.
Resya
menunduk dan berfikir, lalu mengatakan kepada Polisi, meminta Joe dibebaskan.
Joe
“The Fat Boy” berjalan ke arah pintu luar lalu menjumpai Resya dan Hardi
diluar.
“Hei
Joe, aku minta maaf soal semalam, beruntung Resya menolongku, lalu aku juga
meminta agar kau juga sekalian dibebaskan.” Kata Hardi sembari mengulurkan
tangan
“Ya
sudahlah, masalahnya sepele sebenar-nya.”
“Aku
akan mentraktir kopi untuk kalian berdua.” Ujar Hardi.
Usai
Joe menjabat uluran tangan Hardi, mereka bertiga pun menuju sebuah kedai kopi,
sembari menyeruput hidangan kopi dan cemilan ringan dipagi hari menjelang
siang, mereka banyak mengobrol diselingin tawa diantara mereka.
Joe
adalah tipikal orang yang banyak mulut, ia akan membicarakan apapun yang ia
ingin bicarakan tanpa henti, terutama reputasi hidupnya yang meski mengerikan
tetapi terkadang suka di besar-besarkan dan kalau diperhatikan suka
memutar-mutar disitu-situ saja.
Obrolan
pun berlanjut soal rencana dari anak Aryo, yaitu Heriyanto.
“Jadi
apa yang akan dilakukan oleh Heriyanto.” Tanya Hardi
“Balas
dendam, itu sudah pasti, ia akan mengumpulkan tim terbaik yang ia miliki,
orang-orang yang sudah ia kenal atau orang-orang yang kami kenal untuk
menciptakan visi dan misi yang sama dengannya.” Jelas Joe
“Kenapa
harus ada visi dan misi, bukankah tujuannya hanya untuk balas dendam, membunuh
Henry, setelah itu selesai.”
“Heriyanto
bukan orang semacam itu kawan, ia ingin menciptakan kekuatan dan propaganda
untuk melakukan perlawanan terhadap keluarga Henry, visi-nya adalah menjadikan
keluarga Aryo sebagai pemimpin Mafia di ibukota, serta memiliki misi untuk
melemahkan keluarga Henry, membeli polisi sebanyak yang dia bisa, memperluas
ekspansi bisnis-nya, dan menguasai wilayah tanpa harus membayar kepada
siapapun.” Jelas Joe.
“Sepertinya
menarik.” Suara datang dari Resya. “Kalau kalian menang, berarti kalian bisa
memiliki wilayah yang bisa kalian pakai semaunya, aku mau mendirikan usaha
salon, kedai kopi, kedai gunting rambut, serta membangun kontrakan.” Tambah
Resya.
“Ha..
ha.. apapun Mam, tapi tentu harus menjadi keluarga inti dahulu, jasamu harus
besar dulu untuk keluarga Aryo, dengan begitu nanti akan ada porsi wilayah yang
akan dibagi, tanah, uang, pengurusan sertifikat, dll”
“Bagaimana
caranya, agar kami bisa memberikan jasa yang besar untuk kalian?” Tanya Hardi
“Tadi
kau bilang pernah di Militer, menjadi Sniper, itu modal yang bagus, kau punya
kemampuan yang cukup untuk membantu kami.” Kata Joe
“Ya,
tapi aku sudah lama keluar dari kesatuan.”
“Tapi
kau tahu kan ilmu dasar-nya, menembak, menikam, bertahan, pengintaian, dll”
ujar Joe.
“Ya
tentu saja, aku harus memolesnya lagi, berlatih fisik lagi, membuka lagi manual
book survival, serta meminyaki dan berlatih kembali dengan senjata.” Jawab
Hardi
“Heriyanto,
dkk akan mengadakan pertemuan dengan orang-orang terbaik-nya, dan kau atas
rekomendasiku, aku undang untuk menjadi bagian dari kami.”
“Ya
tentu saja, aku mau.” Tutup Hardi.
Taken from Chapter 26 : KEHABISAN PELURU, My upcoming soon Novel by Finn. R
email : vinhramdhansetiawan@yahoo.co.id
fiction/thriller action
0 komentar:
Posting Komentar