Kamis, 28 Oktober 2010

Inside The Jihad : My Life With Al-Qaeda

Omar Nasiri begitu kaget saat melihat rumahnya sudah berantakan karena penyergapan yang dilakukan oleh aparat Maroko, ia hanya bisa melihat ibunya menangis tersedu-sedu, semua ini karena dirinya yang menjadi mata-mata untuk menagkap teman-temannya sendiri yang sudah berhari-hari hidup dan tinggal dengannya, perjalannya yang rumit menjadi seorang mata-mata belum lagi derita batin telah membuat dirinya semakin mengukuhkan diri untuk berjihad ke Afganistan, namun bukan sebagi jihadi, melainkan tetap sebagai mata-mata, ia ingin membuktikan kepada atasanya di DGSE(Agen Intelijen Prancis) bahwa ia bisa melakukan penyusupan ke kamp-kamp pelatihan Al-Qaeda disana.
Gilles pun hanya dapat memberikan nasihat bahwa jarang ada orang yang berhasil menembus dan pulang dengan selamat untuk dapat masuk kesana dan ia pun tdiak berani bertanggung jawab atas keselamatannya.
Benar saja saat ia melakukan perjalanan kesana, sulitnya bukan main, bahkan ia sempat tersesat dan dikira ulama yang kemudian diagung-agunkan oleh penduduk lokal dan mereka mengatakan bahwa jihad yang dilakukan oleh Taliban itu salah, kembalilah ke jalan yang benar, kata mereka.
Namun tekadnya untuk terus melakukan perjalanan menggebu-gebu sehingga ia tetap melanjutkan perjalannya sehingga dapat menembus kamp-kamp pelatihan tersebut.
Ia belajar bagaimana cara menggunakan senjata, rudal anti tank, bahkan ia harus membersihkan AK-47 yang diberikan padanya setiap hari, ia juga bertemu dengan rekan-rekan jihadnya dari seluruh dunia, seperti Chechnya, Somalia, Iraq, dll.
Setiap pagi sebelum subuh Omar yang kemudian menggunakan nama alias Abu Imam pun harus melakukan pemanasan fisik yang melelahkan, berlari naik turun gunung tanpa henti kurang lebih empat jam, menimba air, memakan makanan kacang rebus, roti busuk terkadang kalau lagi beruntung mereka mendapatkan tuna.
Omar terkenal sebagai murid yang nakal, beberapa kali ia terkena hukuman dari gururnya, Ibnu Syekh, mulai dari berlari tanpa henti naik turun gunung, membersihkan toilet,dsb.
Abu Imam pun melihat sebuah celah baginya untuk sedikit bersantai yaitu menjadi muadzin karena ia melihat yang menjadi seorang muadzin itu kerjanya hanya tidur-tiduran saja dan menunggu saatnya azan berkumandang. Tibalah saat yang berbahagia tersebut baginya untuk menjadi seorang muadzin, namun saat adzan ternyata suaranya membuat kuping semua orang pengang, saking jelek suaranya sehingga ia pun tidak diizinkan kembali menjadi seorang muadzin.
Pelajaran mengenai interogasi, penyanderaan, penusukan, bagaimana menggunakan material-material kecil menjadi senjata, bagaimana melakukan penyusupan kepada tempat yang dijaga oleh beberapa aparat, semua itu ia pelajari dengan seksama.
Bagaimana melakukan pengeboman, kontak baku tembak, seni melarikan diri, melakukan simulasi pengeboman dengan ranjau, menggunakan detonator sampai kepada ceramah-ceramah propaganda yang intinya menceritakan kebencian mereka kepada orang-orang barat menjadi menu sehari-hari dalam kehidupannya selama di camp.
Camp pelatihan ini juga memiliki orang-orang yang ahli membuat film, namun orang itu tidak tinggal disini, ia terkadang sesekali datang ke camp sembari membawa film terbaru buatannya, salah satu film yang pernah ditonton oleh Omar adalah tentang Syamil Salmanovich Basayev, pejuang Chechnya. Bagaimana ia melihat dalam film itu Syamil melakukan penyanderaan terhadap rumah sakit kemudian ia pun mengacungkan senjatanya dan meminta tebusan serta perjalanan aman ke negaranya kepada pemerintah Russia, betapa cerdiknya Syamil, meskipun ia akhirnya harus tewas dilain waktu saat mobil yang ia tumpangi dipasangi bahan peledak oleh C.I.A.
Saat ia harus kembali ke negaranya dan menyusup ke Negara-negara Eropa dengan puluhan paspor palsu yang sudah dibuat, yaitu menjadi silent army, melakukan suatu pola senyap untuk melakukan aksi teror dengan rapih, namun tentu saja Omar tidak melakukan hal tersebut karena ia seorang mata-mata, dan ia berhasil menyembunyikan identitasnya sampai masa pelatihannya selesai.
Semua orang yang ia lihat di camp ini memiliki ciri yang sama, yaitu janggut yang lebat, muka pecah-pecah, memiliki lingkar hitam dibawah mata yang pekat, semua itu karena pelatihan yang keras belum lagi suasana yang gersang didataran Afgan, dan kini ia pun memiliki ciri yang sama dengan gurunya maupun teman-teman satu angkatannya.
Buku ini cukup inspiratif dan tidak membosankan untuk dibaca, menawarkan sudut padang cerita si pelaku sendiri dengan gaya narasi yang apik, buku ini dikeluarkan oleh Zahra Publishing House dengan harga sekitar Rp. 89.000,-

0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger